Rabu, 13 Februari 2013

Pulang dan bangun kampung halaman!

Jakarta kemarin hujan dan macet, bahkan sang gubernur kondang Jokowi   sempat menyampaikan kepesimisannya menangulangi masalah banjir ibu kota.
Dengan jumlah peduduk 12 juta orang Jakarta sudah sangat sesak dan penuh dengan kemacetan. wacana terhadap pemindahan ibu kota negara mulai ramai lagi diperbincangkan. Kalau pada postingan sebelumnya saya sempat menyampikan juga mengenai wacana pemindahan ibu kota negara, saat ini saya berpikiran lain. Teori: penduduk luar Jakarta berbondong-bondong memenuhi ibu kota negara dengan harapan mendapatkan penghidupan lebih baik. Pertanyaannya: "Apakah penghidupan yang lebih baik, tidak mungkin didapatkan di kampung halaman?" Untuk menjembatani teori dan pertanyaan ada baiknya saya ceritakan secara singkat pengalaman pribadi.



Numpang lahir di Tanjung Pandan Belitung, gak sampai setahun pindah ke Sumatera, berpindah-pindah keliling ke ibukota kabupaten se Sumatera Selatan kecuali Lubuk Linggau Musi Rawas. Mulai SD sampai setengah SMA di Palembang, setengah SMA diselesaikan di Bandung sampai beres S1 tahun 2000. Sesekali saat idul fitri tiba, lebaran di kampung halaman kedua orang tua, biasanya gantian pada hari H nya, kadang di Kota Tasikmalaya atau di Banjarsari Kabupaten Ciamis. Dengan kondisi tempat tinggal yang sering berpindah, sering saya bingung ketika ditanya di mana kampung halaman. Saat ini keluarga orang tua, kakak dan adik tinggal di Bandung. Pertengahan 2010 saya mendamparkan diri di Jakarta dengan pertimbangan karena berbagai kondisi. Setelah satu setengah tahun, sampai akhir tahun 2011 semua impian terhadap usaha yang menunjukan hasil menggembirakan. Pekerjaan menyusun naskah-naskah iklan dan talkshow menuntut saya membaca artikel dan kajian dari berbagai macam sumber, membangunkan impian yang telah tertidur sekian lama. Banyak hal yang makin membuka mata dan pikiran, terutama bahwa semua penjuru alam Indonesia memiliki sumber daya alam yang keren dan masih banyak yang belum di maksimalkan oleh putera-puteri daerah masing-masing.

Andai saja putera-puteri daerah tersebut memiliki informasi dan akses untuk memaksimalkan sumber daya daerahnya masing-masing, ditambah dengan pembangunan infrastruktur yang memadai, bukan saja mampu menahan mereka untuk tidak pindah ke ibu kota. Saya yakin, bahkan para perantau di ibu kota mau pulang membangun daerahnya masing-masing.

3 komentar:

connectfour mengatakan...

DearFriend, Your arguments as proposed in your protest against the "outcry"of the governor of Jakarta instill in me the hope that people in general will listen to your train of thoughts. The capital - as you remark - is overpopulated. Moving away from the rayon of Jakarta Raya will open the invitation to the populace of the surrounding desa² to migrate into the vacated emptiness of ex-Jakarta. Or will it call itself Cipotat Raya in future? I recognise fully that I am an outsider, but my soul cringes to have to take note that < things are not quite right in "Jawa Dwipa."> [The above comments submitted by Ludwig Werner, Wanaka, New Zealand]

connectfour mengatakan...

DearFriend, Your arguments as proposed in your protest against the "outcry"of the governor of Jakarta instill in me the hope that people in general will listen to your train of thoughts. The capital - as you remark - is overpopulated. Moving away from the rayon of Jakarta Raya will open the invitation to the populace of the surrounding desa² to migrate into the vacated emptiness of ex-Jakarta. Or will it call itself Cipotat Raya in future? I recognise fully that I am an outsider, but my soul cringes to have to take note that < things are not quite right in "Jawa Dwipa."> [The above comments submitted by Ludwig Werner, Wanaka, New Zealand]

Muhamad Devi Riswandi mengatakan...

just a simple idea, which comes from the daily traffic jams and floods.